BAB I
PENDAHULUAN
A.
LATAR
BELAKANG
Labio/ Palatoskizis merupakan
kongenital yang berupa adanya kelainan bentuk pada struktur wajah (Ngastiah,
2005 : 167)2. Bibir sumbing adalah malformasi yang disebabkan oleh gagalnya
propsuesus nasal median dan maksilaris untuk menyatu selama perkembangan
embriotik. (Wong, Donna L. 2003)3. Palatoskisis adalah fissura garis tengah
pada palatum yang
terjadi karena kegagalan 2 sisi untuk menyatu karena perkembangan embriotik
(Wong, Donna L. 2003).
Labiopalatoskizis merupakan suatu kelainan yang dapat terjadi
pada daerah mulut, palatoskizis (sumbing palatum) dan labioskizis (sumbing
tulang) untuk menyatu selama perkembangan embrio (Hidayat, Aziz, 2005:21)
Kelainan congenital ini diduga
disebabkan karena factor herediter dan factor eksternal. Yang termasuk dalam
factor herediter yaitu gilarsi : 75% dari faktor keturunan resesif dan 25%
bersifat dominan, mutasi gen dan kelainan kromosom. Sedangkan faktor eksternal
yaitu faktor usia ibu,obat-obatan. (Asetosal, Aspirin (SCHARDEIN-1985)
Rifampisin, Fenasetin, Sulfonamid, Aminoglikosid, indometasin, Asam Flufetamat,
Ibuprofen, Penisilamin, Antihistamin dapat menyebabkan celah langit-langit.
Antineoplastik, Kortikosteroid), Nutrisi, Penyakit infeksi (sifilis dan
rubella), Radiasi,Stres emosional, Trauma, (trimester pertama).
Atresia esofagus merupakan kelainan kongenital yang ditandai
dengan tidak menyambungnya esofagus bagian proksimal dengan esofagus bagian
distal. Atresia esofagus dapat terjadi bersama fistula trakeoesofagus, yaitu kelainan
kongenital dimana terjadi persambungan abnormal antara esofagus dengan trakea.
Atresia esophagus merupakan kelainan kongenital yang cukup
sering dengan insidensi rata-rata sekitar 1 setiap 2500 hingga 3000 kelahiran
hidup. Insidensi atresia esophagus di Amerika Serikat 1 kasus setiap 3000
kelahiran hidup. Di dunia, insidensi bervariasi dari 0,4-3,6 per 10.000
kelahiran hidup. Insidensi tertinggi terdapat di Finlandia yaitu 1 kasus dalam
2500 kelahiran hidup.
Masalah pada atresia esophagus adalah ketidakmampuan untuk
menelan, makan secara normal, bahaya aspirasi termasuk karena saliva sendiri
dan sekresi dari lambung.
B.
TUJUAN
1. Memenuhi tugas mata kuliah Asuhan Kebidanan Neonatus Bayi
dan Balita.
2. Menambah dan
memperluas pengetahuan tentang Labiosisis dan Labiopalato skisis bagi penulis.
BAB II
LANDASAN TEORI
A.
LABIOSIKIZIS dan LABIOPALATOSIKIZIS
a.
Pengertian
Labioskizis dan
Labiopalatoskizis merupakan deformitas daerah mulut berupa celah atau sumbing
atau pembentukan yang kurang sempurna semasa perkembangan embrional di masa
bibir atas bagian atas bagian kanan dan bagian kiri tidak tumbuh bersatu
(Vivian, 2010)
Labiosikizis adalah kelainan congenital
sumbingyang terjadi akibat kegagalan fusi atau penyatuan prominen maksilaris
dengan prominen nasalis medial yang diikuti disrupsi kedua bibir, rahang dan
palatum anterior. Palatosikisis adalah
kelaianan congenintal sumbing akibat kegagalan fusi palatum pada garis tengah
dan kegagalan fungsi septum nasi (Sudarti, 2010)
b.
Klaisifikasi
Jenis belahan pada labioskizis
atau labiopalatoskizis dapat sangat bervariasi, bisa mengenal salah satu bagian
atau semua bagian dari dasar cuping hidung, bibir, alveolus dan palatum durum,
serta palatum molle. Suatu klasifikasi membagi struktur-sturktur yang terkena
menjadi beberapa bagian berikut.
1. Palatum
primer meliputi bibir, dasar hidung, alveolus, dan palatum durum di belahan
foramen insisivum.
2. Palatum
sekunder meliputi palatum durum dan palatum molle posterior terhadap foramen.
3. Suatu
belahan dapat mengenai salah satu atau keduanya, palatum primer dan palatum
sekunder dan juga bisa berupa unilateral atau bilateral.
4. Terkadang
terlihat suatu belahan submukosa. Dalam kasus ini mukosanya utuh dengan belahan
mengenai tulangdan jaringan otot palatum.
c.
Faktor
yang Mempengaruhi Terjadinya Bibir Sumbing
1.
Factor Genetik
atau keturunan
Dimana terjadi
karena adaya adanya mutasi gen ataupun kelainan kromosom. Pada setiap sel yang
normal mempunyai 46 kromosom yang terdiri dari 22 pasang kromosom non-sex (
kromosom 1 s/d 22 ) dan 1 pasang kromosom sex ( kromosom X dan Y ) yang
menentukan jenis kelamin. Pada penderita bibir sumbing terjadi Trisomi 13 atau
Sindroma Patau dimana ada 3 untai kromosom 13 pada setiap sel penderita,
sehingga jumlah total kromosom pada tiap selnya adalah 47. Jika terjadi hal
seperti ini selain menyebabkan bibir sumbing akan menyebabkan gangguan berat
pada perkembangan otak, jantung, dan ginjal. Namun kelainan ini sangat jarang
terjadi dengan frekuensi 1 dari 8000-10000 bayi yang lahir.
2.
Kurang Nutrisi contohnya defisiensi Zn
dan B6, vitamin C pada waktu hamil, kekurangan asam folat.
3.
Radiasi
4.
Terjadi trauma pada kehamilan trimester
pertama.
5.
Infeksi pada ibu yang dapat
mempengaruhi janin contohnya seperti infeksi Rubella dan Sifilis, toxoplasmosis
dan klamidia
6.
Pengaruh obat teratogenik, termasuk
jamu dan kontrasepsi hormonal, akibat toksisitas selama kehamilan, misalnya
kecanduan alkohol, terapi penitonin
7.
Multifaktoral dan mutasi genetic
8.
Diplasia
ektodermal yaitu dipakai untuk sekelompok kelainan yang secara anatomis maupun
fisiologis mengalami kerusakan berbagai struktur, yaitu gigi, kulit beserta
apendiksnya, termasuk rambut, kuku, kelenjar ekrin dan kelenjar sebasea
d.
Tanda Dan Gejala
Ada beberapa gejala dari bibir sumbing
yaitu :
§ Terjadi
pamisahan Langit-langit
§ Terjadi
pemisahan bibir
§ Terjadi
pemisahan bibir dan langit-langit
§ Infeksi telinga
§ Berat badan tidak bertambah
§ Pada bayi
terjadi regurgitasi nasal ketika menyusui yaitu keluarnya air susu dari hidung.
e.
Manifestasi
1.
Pada Labioskisis
§ Distorsi pada
hidung
§ Tampak sebagian
atau keduanya
§ Adanya celah
pada bibir
2.
Pada Palatoskisis
§ Tampak ada
celah pada tekak (unla), palato lunak, keras dan faramen incisive.
§ Ada rongga pada
hidung.
§ Distorsi hidung
§ Teraba ada celah atau terbukanya langit-langit
saat diperiksadn jari
§ Kesukaran dalam
menghisap/makan.
f.
Komplikasi
Komplikasi yang bisa terjadi pada
kelainan ini adalah:
1. Otitis
medis, faringitis, dan kekurangan gizi.
2. Diperkirkan
sekitar 10% penderita akan mengalami masalah wicara, misalnya suara sengau.
g.
Penatalaksanaan
Tindakan bedah efektif yang melibatkan beberapa
disiplin ilmu untuk penanganan selanjutnya. Adanya kemajuan teknik bedah,
orbodantis,dokter anak, dokter THT, serta hasil akhir tindakan koreksi kosmetik
dan fungsional menjadi lebih baik. Tergantung dari berat ringan yang ada, maka
tindakan bedah maupun ortidentik dilakukan secara bertahap. Biasanya
penutupan celah bibir melalui pembedahan dilakukan bila bayi tersebut telah
berumur 1-2 bulan. Setelah memperlihatkan penambahan berat badan yang memuaskan
dan bebas dari infeksi induk, saluran nafas atau sistemis. Perbedahan ini dapat
diperbaiki kembali pada usia 4-5 tahun. Pada kebanyakan kasus, pembedahan pada
hidung hendaknya ditunda hingga mencapi usia pubertas.
Karena
celah-celah pada langit-langit mempunyai ukuran, bentuk danderajat cerat yang
cukup besar, maka pada saat pembedahan, perbaikan harus disesuaikan bagi
masing-masing penderita.
Waktu optimal
untuk melakukan pembedahan langit-langit bervariasi dari 6 bulan – 5 tahun.
Jika perbaikan pembedahan tertunda hingga berumur 3 tahun, maka sebuah balon
bicara dapat dilekatkan pada bagian belakang geligi maksila sehingga kontraksi
otot-otot faring dan velfaring dapat menyebabkan jaringan-jaringan bersentuhan
dengan balon tadi untuk menghasilkan penutup nasoporing.
B.
ATRESIA
ESOPHAGUS
a.
Pengertian
Athresia Esophagus adalah perkembangan embrionik abnormal
esophagus yang menghasilkan pembentukan suatu kantong (blind pouch), atau lumen
berkurang tidak memadai yang mecegah perjalanan makanan / sekresi dari faring
ke perut.
Atresia berarti buntu, dengan demikian
atresia esophagus adalah kelainan bawan dimana ujung saluran esophagus buntu.
Pada sebagian besar kasus atresia esophagus ujung esophagus buntu, sedangkan
pada ¼-1/3 kasus lainnya esophagus bagian bawah berhubungan dengan trekea
setinggi karina ( disebut sebagai atresia esophagus dengan fistula ). Atresia
esophagus terjadi pada 1 dai 3.000 – 4.500 kelahiran hidup, sekitar sepertiga
anak yang terkena lahir prematur.
b.
Patofisiologi
Neonatus dengan atresia esofagus tidak dapat menelan dan
menghasilkan banyak air liur. Pneumonia aspirasi dapat terjadi bila terjadi
aspirasi susu, atau liur. Udara dari trakea juga dapat mengalir ke bawah
fistula ketika bayi menangis atau menerima ventilasi. Hal ini dapat menyebabkan
perforasi gaster akut yang sering kali mematikan. Trakea juga dipengaruh
oleh gangguan embriologenesis pada atresia esofagus. Membran trakea
seringkali melebar dengan bentuk D, bukan C seperti biasa.
Perubahan ini menyebabkan kelemahan sekunder pada stuktur
anteroposterior trakea atau trakeomalacia. Kelemahan ini akan menyebabkan
gejala batuk kering dan dapat terjadi kolaps parsial pada eksirasi penuh.
Sekret sulit untuk dibersihkan dan dapat menjurus ke pneumonia berulang. Trakea
juga dapat kolaps secara parsial ketika makan, setelah manipulasi, atau ketika
terjadi refluks gastroesofagus; yang dapat menjurus ke kegagalan nafas;
hipoksia, bahkan apnea.
c.
Etiologi
Sampai saat ini belum diketahui zat teratogen apa yang bisa
menyebabkan terjadinya kelainan Atresia Esofagus, hanya dilaporkan angka
rekuren sekitar 2 % jika salah satu dari saudara kandung yang terkena.
Namun saat ini, teori tentang tentang terjadinya atresia
esofagus menurut sebagian besar ahli tidak lagi berhubungan dengan
kelainan genetic. Perdebatan tetang proses embriopatologi masih terus
berlanjut, dan hanya sedikit yang diketahui.
d.
Gambaran Klinis
Atresia menyebabkan
saliva berkumpul pada ujung bagian esofagus yang buntu. Apabila terdapat
fistula, maka saliva ini akan mengalirke luar atau masuk ke dalam trakea . Hal
ini akan lebih berbahaya apabila saliva mengalir melalui fistula trakea
esofagus karena cairan saliva akan masuk ke dalam paru.
Kelainan ini biasanya
baru diketahui setelah bayi berumur 2-3 minggu dengan gejala muntah proyektil
beberapa saat setelah minum susu. Pada pemeriksaan fisik yang dilakukan setelah
bayi menyusui akan ditemukan gerakan peristaltik lambung karena ada usaha
melewatkan makanan melalui daerah yang sempit di pilorus. Tidak jarang teraba
tumor saat ditemukannya peristaltik.
e.
Diagnosis
Diagnosa dari atresia esofagus / fistula trakheoesofagus
bisa ditegakkan sebelum bayi lahir. Salah satu tanda awal dari atresia esofagus
diketahui dari pemeriksaan USG prenatal yaitu polihidramnion, dimana terdapat
jumlah cairan amnion yang sangat banyak. Atresia
esophagus atau fistula esofagotrakealis bisa disebabkan oleh penyimpangan
spontan septum esofagotrakialis ke arah posterior atau oleh faktor mekanik yang
mendorong dinding usus depan ke anterior. Pada bentuk yang sering ditemukan,
bagian proksimal esophagus mempunyai ujung berupa kantong buntu, sementara
bagian distal berhubungan dengan trakea melalui sebuah saluran sempit pada
titik tepat di atas percabangan. Jenis cacat lain di daerah ini jauh lebih
jarang terjadi. Atresia esophagus menahan jalannya cairan amnion yang normal
menuju saluran usus, sehingga mengakibatkan penumpukan cairan yang banyak
sekali dikantong amnion (polihidramnion). Tanda ini bukanlah diagnosa pasti tetapi jika
ditemukan harus dipikirkan kemungkinan atresia esofagus.
Diagnosa Atresia Esofagus dicurigai pada masa prenatal
dengan penemuan gelembung perut (bubble stomach) yang kecil
atau tidak ada pada USG setelah kehamilan 18 minggu. Secara keseluruhan
sensifitas dari USG sekitar 42 %. Polihidraminon sendiri merupakan indikasi
yang lemah dari Atresia Esofagus (insiden 1%). Metoda yang tersedia untung
meningkatkan angka diagnostik prenatal termasuk pemeriksaan ultrasound
pada leher janin untuk menggambarkan “ujung buntu” kantong atas dan menilai
proses menelan janin dari MRI.
Diagnosis ditegakkan berdasarkan gejala dan hasil
pemeriksaan berikut:
·
Memasukkan
selang nasogastrik
·
Rontgen
esofagus menunjukkan adanya kantong udara dan adanya udara di lambung serta
usus.
f.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan dari atresia esophagus
ini antara lain :
·
Posisikan bayi setengah duduk apabila
atresia esophagus disertai fistula, namun apabila atresia tanpa disertai
fistula bayi diposisikan dengan kepala lebih rendah (trandelenburg) dan
seringlah mengubab-ubah posisi.
·
Segera lakukan pemasangan kateter ke
dalam esophagus dan bila memungkinkan lakukan penghisapan terus-menerus.
·
Berikan perawatan pada bayi normal
lainnya, seperti pencegahan hipotermi, pemberian nutrisi adekuat, dan
lain-lain.
·
Rangsang bayi untuk menangis.
·
Lakukan informed consent dan informed
choice kepada keluarga untuk melakukan rujukan pada pelayanan kesehatan yang
lebih tinggi.
g.
Komplikasi
Komplikasi – komplikasi yang bisa
timbul setelah operasi perbaikan pada atresia esophagus dan fistula atresia esophagus
adalah sebagai berikut :
1. Dismotilitas esophagus.
Dismotilitas
terjadi karena kelemahan otot dingin esophagus. Berbagai tingkat dismotilitas
bisa terjadi setelah operasi ini. Komplikasi ini terlihat saat bayi sudah mulai
makan dan minum.
2. Gastroesofagus refluk.
Kira-kira
50 % bayi yg menjalani operasi ini kana mengalami gastroesofagus refluk pada
saat kanak - kanak / dewasa,
dimana asam lambung naik / refluk ke esophagus. Kondisi ini dapat diperbaiki
dengan obat (medical) atau pembedahan.
3. Trakeo esogfagus fistula berulang.
Pembedahan ulang adalah terapi untuk keadaan seperti
ini.
4. Disfagia atau kesulitan
menelan.
Disfagia
adalah tertahannya makanan pada tempat esophagus yang diperbaiki. Keadaan ini
dapat diatasi dengan menelan air untuk
tertelannya makanan dan mencegah terjadinya ulkus.
5. Kesulitan bernafas dan tersedak.
Komplikasi
ini berhubugan dengan proses menelan makanan, tertahannya makanan dan saspirasi makanan ke dalam trakea.
6. Batuk kronis.
Batuk
merupakan gejala yang
umum setelah operasi perbaikan atresia esophagus, hal ini disebabkan kelemahan
dari trakea.
7. Meningkatnya infeksi saluran pernafasan.
Pencegahan
keadaan ini adalah dengan mencegah kontak dengan orang yang menderita flu dan meningkatkan daya tahan tubuh dengan mengkonsumsi vitamin dan suplemen.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Bayi lahir spontan dengan usia
kehamilan cukup, berat bayi lahir cukup, apgar skore baik, pada saat
pemeriksaan awal ditemukan kelainan kongenital labiopatoskisis. Diduga kuat
akibat konsumsi obat-obatan sang ibu ketika masa kehamilan. Penatalaksanaan
bayi ini seperti penatlaksanaan rutin bayi baru lahir, hanya saja diperlukan
konsultasi kepada ahli bedah untuk penanganan selanjutnya.
Atresia esofagus merupakan kelainan kongenital yang ditandai
dengan tidak menyambungnya esofagus bagian proksimal dengan esofagus bagian
distal. Atresia esofagus dapat terjadi bersama fistula trakeoesofagus, yaitu
kelainan kongenital dimana terjadi persambungan abnormal antara esofagus dengan
trakea.
B.
Saran
Mengingat proses penulisan makalah ini
kami rasakan masih jauh dari kesempurnaan. Untuk itu, kritik dan saran sangat
penulis harapkan demi perbaikan mendatang.
Berdasarkan penjelasan mengenai Labiosikisis dan Labiopalatosikisis
dan Atresia Esophagus di atas maka sebagai tenaga kesehatan kita harus mampu
mengenali dan menangani sedini mungkin untuk mencegah kematian neonatus.
0 komentar:
Posting Komentar